Seperti biasa saya browsing sekadar untuk refreshing saat jam makan siang. Dan saya menemukan kisah “Nenek Pencuri Singkong Dan Hakim Hebat” diposting di beberapa forum & blog
Untuk yang belum baca kisahnya, ini saya copy-paste dari salah satu blog di kompasiana
Seperti:
Artinya apa?
Jelas kisah tersebut merupakan hasil modifikasi, dan sengaja disebar untuk memfitnah Grup Bakrie. Orang mudah terenyuh oleh kisah dramatis (si nenek) dan heroisme (si hakim), dan ketika membaca kisah ini orang cenderung tidak kroscek kebenaran kisahnya. Terlebih dengan kondisi Bakrie yang sering dicitrakan secara negatif oleh berbagai media.
Teknologi jelas semakin mempermudah & mempercepat laju penyebaran berita (komunikasi), tapi seharusnya kita sadari hal itu untuk memfilter setiap informasi yang datang ke kita. Jangan sampai kita mudah terbawa emosi, dan terjebak menjadi agen penyebar fitnah.
Sumber : Here
Untuk yang belum baca kisahnya, ini saya copy-paste dari salah satu blog di kompasiana
Kasus tahun 2011 lalu di Kab. Prabumulih, Lampung (kisah nyata),…… diruang sidang pengadilan, hakim Marzuki duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa PU thdp seorg nenek yg dituduh mencuri singkong, nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, cucunya lapar,…. namun manajer PT Andalas kertas (Bakrie grup) tetap pada tuntutannya, agar menjd contoh bg warga lainnya.
Hakim Marzuki menghela nafas., dia memutus diluar tuntutan jaksa PU, ‘maafkan saya’, ktnya sambil memandang nenek itu,. ’saya tak dpt membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jd anda hrs dihukum. saya mendenda anda 1jt rupiah dan jika anda tdk mampu bayar maka anda hrs msk penjara 2,5 tahun, spt tuntutan jaksa PU’.
Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam, smtr hakim Marzuki mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian mengambil & memasukkan uang 1jt rupiah ke topi toganya serta berkata kpd hadirin.
‘Saya atas nama pengadilan, jg menjatuhkan denda kpd tiap org yg hadir diruang sidang ini sebesar 50rb rupiah, sebab menetap dikota ini, yg membiarkan seseorg kelaparan sampai hrs mencuri utk memberi mkn cucunya, sdr panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya kpd terdakwa.”
Sampai palu diketuk dan hakim marzuki meninggaikan ruang sidang, nenek itupun pergi dgn mengantongi uang 3,5jt rupiah, termsk uang 50rb yg dibayarkan oleh manajer PT Andalas kertas yg tersipu malu krn telah menuntutnya. Sungguh sayang kisahnya luput dari pers. Kisah ini sungguh menarik sekiranya ada teman yg bisa mendapatkan dokumentasi kisah ini bisa di share di media tuk jadi contoh hakim berhati mulia.Kisahnya sih menyentuh, tapi ketika membacanya saya justru merasa banyak kejanggalan di dalamnya.
Seperti:
- Memangnya seorang hakim, bisa menjatuhkan denda seperti itu?
- Duitnya dimasukan ke toga? Toga siapa? Siapa yang pakai toga? dan
- (harusnya) ini kasus yang luar biasa: rakyat jelata vs Grup Bakrie. Menurut saya tidak mungkin media tidak mengendus hal ini. Logikanya: Kalau si nenek pergi dengan 3.5 juta (plus dia harus membayar denda 1 juta). Maka dari sumbangan dia dapat 4.5 juta. Kalau setiap orang didenda 50ribu. Maka butuh berapa orang untuk mengumpulakan uang senilai 4,5 juta rupiah? Sebuah sidang yang cukup besar seharusnya. Dan pers tidak ada yang sadar?
Saya coba mencari data & fakta sebanyak mungkin soal kasus ini. Hasilnya saya menemukan:
Daerah Prabumulih tidak berada di Lampung, tapi di Sumatera Selatan,
- PT. Andalas di Prabumulih tidak memproduksi kertas tapi logam, dan
- Grup Bakrie tidak pernah terjun dalam bisnis kertas.
- Terakhir, saya menemukan kisah yang mirip (tapi versi luar negeri):
Artinya apa?
Jelas kisah tersebut merupakan hasil modifikasi, dan sengaja disebar untuk memfitnah Grup Bakrie. Orang mudah terenyuh oleh kisah dramatis (si nenek) dan heroisme (si hakim), dan ketika membaca kisah ini orang cenderung tidak kroscek kebenaran kisahnya. Terlebih dengan kondisi Bakrie yang sering dicitrakan secara negatif oleh berbagai media.
Teknologi jelas semakin mempermudah & mempercepat laju penyebaran berita (komunikasi), tapi seharusnya kita sadari hal itu untuk memfilter setiap informasi yang datang ke kita. Jangan sampai kita mudah terbawa emosi, dan terjebak menjadi agen penyebar fitnah.
Sumber : Here
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?